Oleh: Raden Yusuf, S.H

Malam ini, Minggu 13 Oktober, saya menonton debat pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung, melalui kanal Youtube KPU Lampung.

Belum selesai sih debatnya, tapi saya ingin menulis sedikit tentang paparan awal Visi dan Misi dari kedua pasangan ini.

Saya tertarik dengan isu pertanian, di mana notabene mayoritas profesi masyarakat Lampung adalah petani.

Tentunya isu pertanian ini memiliki electability factor yang kuat. Sehingga harus dieksploitasi se epic mungkin.

Paslon Arinal dan Sutono, ingin Lampung memiliki kedaulatan pangan, sedangkan Paslon Rahmad Mirzani dan Jihan ingin Lampung menjadi lumbung pangan.

Ke dua duanya sudah bagus, namanya juga misi. Tapi apakah mudah, mewujudkan “Kedaulatan Pangan” dan “Lumbung Pangan”.

Mewujudkan dua misi milik dua paslon itu bukan perkara mudah bung. “Kato kito”.

Se penangkapan saya, “Kedaulatan Pangan” artinya petani di Lampung memiliki kendali penuh, atas lahan, teknologi, hingga mampu menentukan harga hasil pertanian tanpa tekanan pasar lokal maupun global. Nyatanya?.

Sedangkan se penangkapan saya, “Lumbung Pangan” artinya Lampung memiliki sumber pangan hasil pertanian yang tumpah ruwah, berlebih untuk pasokan Lampung sendiri bahkan tanpa perlu ada pasokan dari daerah atau negara lain alias impor. Nyatanya? Hehehe.

Jika boleh. Saya yang bukan ahli pertanian ini, ingin sekali mengatakan naif. Baik “Kedaulatan Pangan” atau “Lumbung Pangan”.

Kenapa naif?

Gini deh. Contoh kecil. Masalah pupuk. Masalah pupuk dari dulu gitu gitu saja belum tuntas. Contoh soal, pupuk subsidi harus didistribusikan melalui kelompok, yang gak kelompok beli pupuk di toko dengan harga yang cukup mahal. Bisa beli pupuk subsidi “kalau dapet” atau “stok masih ada”. Hehehe.

Tapi kan… Tidak semua petani memiliki pola pikir yang sama, kepribadian petani juga berbeda-beda. Ada yang suka berkelompok, ada pula yang lebih suka individu.

Saya lebih respect dengan petani yang tidak memiliki kelompok, kenapa? Karena ia bisa survive sehingga menghasilkan panen yang baik tanpa bantuan dari pihak manapun.

Sedangkan kelompok pertanian, bukan saya tidak respect namun pada kenyataannya, kelompok semacam ini sering dipolitisir, karena apa? Ada nilai di situ. Yaitu pupuk. Capek deh.

Kedua. Masalah alat pertanian. Tidak semua petani mudah mendapatkan akses alat pertanian. Misal bantuan yang diserahkan kepada kelompok dari pemerintah. Pertanyaannya, apakah mesin pertanian ini bisa dirasakan manfaatnya kepada semua petani di wilayah yang diberikan bantuan alat mesin tersebut? Apakah bisa dijamin, tidak dipolitisir oleh kelompok kelompok ini?

Itu mungkin, sedikitlah masalah pertanian di Lampung ini. Menurut saya gausah muluk-muluk lah pak, mau bikin “Kedaulatan Pangan” mau bikin “Lumbung Pangan”.

Gini loh, petani ini kan juga pedagang. Namanya pedagang, harga jual harus lebih besar daripada harga modalnya. Kalau harga jualnya lebih kecil daripada harga modalnya, gimana mau untung? Buntung iya.

Saya jadi inget pelajaran akuntansi saat SMA dulu. Jadi jadi Harga Pokok Produksi (HPP) itu harus di bawah harga Bruto, sehingga tercipta laba. Bukan laba-laba loh ya.

Contoh kasus. Beberapa waktu lalu, harga gabah kita anjlok berkisar 4 sampai 5 ribu rupiah sedangkan harga beras di pasaran cenderung tinggi. Kemudian belum lama ini harga tomat di Lampung Barat di tingkat petani, anjlok berkisar 500 rupiah sedangkan di pasaran 5 sampai 6 ribu rupiah. Banyak yang prustasi pak.

Sampai sini, Pak Arinal dan Pak Sutono serta Bang Mirza dan Mbak Jihan harusnya tahu dong apa solusinya. Jangan tanya saya. Kalau saya, jujur aja gak tahu solusinya apa. Karena saya bukan ahli pertanian apalagi ahli ekonomi.

Siapapun terpilih. Pesan saya. Panggil lah ahli-ahli pertanian, bila perlu dari luar negeri pak. Biar Lampung ini maju dunia pertaniannya. Sehingga antara “Kedaulatan Pangan” dan “Lumbung Pangan” ini tidak menjadi misi, yang sekedar di atas kertas. Bahkan “Naif”.