Oleh: Raden Yusuf, S.H

Belum selesai saya menonton debat Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung tadi malam. Pagi ini, usai sholat subuh, Senin 14 Oktober saya kembali menonton debatnya, karena bisa diputar ulang di Youtube KPU Lampung.

Jika tulisan saya sebelumnya tentang paparan awal visi dan misi tentang pertanian. Kali ini masih seputar pertanian, spesifiknya kopi.

Saya tertarik dengan salah satu pertanyaan panelis adalah tentang kesejahteraan petani kopi, bagaimana “Kopi Lampung” yang terkenal ini, namun berbanding terbalik dengan kesejahteraan petaninya. Pendapatannya rendah.

Pak Arinal, membahas mengenai bagaimana teknologi pertanian kopi di Lampung perlu ditingkatkan. Karena sudah ketinggalan zaman. Kata dia. Bahkan kita kalah dengan Vietnam yang pernah belajar dengan kita.

Sedangkan Pak Mirza, membahas mengenai bagaimana regulasi terkait kopi ini diatur, agar Kopi Lampung memiliki nilai tawar, dan mampu menguasai 70% ekspor nasional, sehingga mampu mengendalikan harga.

Bagus-bagus sajalah. Namanya juga jawaban dan tanggapan dari pertanyaan panelis. Tapi apakah jawaban dan tanggapan mereka akan menjawab semua tantangan kopi ke depan?.

Gini. Per 2022 produksi kopi kita sebesar, 124,5 ribu ton, ternyata kita masih jauh di bawah Sumatera Selatan, yaitu sebesar 212,4 ribu ton yang mencapai 26,72 % dari total produksi nasional.

Sedangkan. Menurut BPS, nilai ekspor kopi nasional kita mencapai 25 triliun rupiah. Fantastis. Uang yang sangat besar.

Namun, berdasarkan kajian oleh Tim Unila sesuai dengan pertanyaan panelis pada debat, rata-rata penghasilan petani Kopi Lampung hanya 26 juta rupiah per tahun, nilai ini jauh di bawah pendapatan per kapita Provinsi Lampung sebesar 48,2 juta.

Sekali lagi, saya bukan ahli pertanian apalagi ahli kopi, saya cuma hobi ngopi di warung. Lets say anggap saja tulisan ini obrolan warung kopi. 

Mari kita berhitung. Hehehe.

Hitungan goblok saya, anggaplah petani Kopi Lampung menguasai pasar sebesar 10%, artinya kita punya pendapatan nilai ekspor kopi sebesar 2,5 triliun rupiah. Wow. Lumayan besar.

2.5 triliun rupiah bro! Jika jumlah petani kopi di Lampung mencapai 25.000 orang, artinya pendapatan satu petani kopi per ekspor jika satu tahun ekspor satu kali adalah 100 juta rupiah, hehehe.

Kemudian kita kurangi biaya produksi, kita kurangi biaya makelar, dan tetek bengek lainnya. Anggaplah biaya biaya itu tadi potongannya berjumlah 50% petani kita harusnya masih dapat 50 juta rupiah per ekspor per tahun. Jika ekspornya hanya satu kali. Harusnya kan segitu ya, dengan potongan ekstrim 50% loh ini.

Kalau dari data Tim Unila petani kopi hanya memiliki rata-rata pendapatan bersih per tahun 26 juta rupiah! Jauh banget dari pendapatan bersih 50 juta rupiah! Hahaha.

Pertanyaan saya dan mungkin juga anda bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang menikmati cuan besar dari hasil Kopi Lampung ini? Siapa yang bisa mengurai ini?

Sekali lagi, saya bukan ahli pertanian, apalagi ahli perkopian, saya cuma hobi ngopi di warung. Mungkinkah pasangan Arinal-Sutono dan Mirza-Jihan sudah tahu siapa penikmat cuan besar kopi ini?.

Jangan-jangan ada mafia kopi? Ah. Mana mungkin.

Baca juga tulisan saya sebelumnya: https://vipnews.co.id/debat-cagub-lampung-kedaulatan-pangan-vs-lumbung-pangan-mana-yang-bagus/