Oleh: Raden Yusuf (Pegiat Komunitas)

Cafe jika merujuk pada istilah Bahasa Perancis berarti kopi, sederhananya cafe adalah kedai yang menyediakan minuman dan makanan ringan, yang sudah barang tentu harus menyediakan kopi.

Kata Cafe sendiri diserap ke dalam Bahasa Indonesia dan masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan tulisan Kafe yang mengandung arti, 1. Tempat minum kopi yang pengunjungnya dihibur dengan musik, 2. Tempat minum yang pengunjungnya dapat memesan minuman, seperti kopi, teh, bir, dan kue kue kedai kopi.

Jauh sebelum orang Indonesia mengenal istilah Cafe, sudah tentu mengenal sebutan warung atau kedai. Apapun sebutannya, orang Indonesia sudah akrab dengan tempat menjual minuman dan makanan ringan.

Jika dilihat ke belakang dengan menarik benang waktu satu dekade, banyak kafe di Kota Metro yang muncul dan mampu bertahan hingga saat ini, namun tak sedikit juga yang muncul kemudian gulung tikar dalam kondisi belum mencapai break event point.

Saya melihat ada budaya baru yang digemari oleh masyarakat khususnya di Kota Metro satu dekade ini, yaitu budaya nongkrong. Pop culture semacam ini tentunya berasal dari kota-kota besar. Istilah Bahasa anak Jakarta Selatan, nongkrong di tempat yang chill untuk healing.

Budaya baru ini, mungkin yang secara mentah-mentah ditangkap oleh orang-orang. Orang yang mampu secara finansial menciptakan sebuah tempat nongkrong di Kota Metro, namun tidak dibarengi dengan strategi bisnis food and beverages dan dasar keilmuan berbisnis sejenis yang matang.

Saya melihat, sangat disayangkan sebetulnya, modal dasar yang dikeluarkan cukup besar namun belum waktunya break event point sudah banyak yang gulung tikar.

Saya tentunya tidak ingin menyebut mana kafe yang sukses dan mampu bertahan dan mana kafe yang gulung tikar ketika masih seumur jagung.

Membuka usaha kafe di Metro, menurut saya adalah sebuah kegagapan dalam proses berbisnis, jika tidak ada analisis mendalam terlebih dahulu. Saya menilai seolah menginvestasikan finansial ke dalam sebuah tren, dan ini bagi saya sama saja menggali kubur sendiri.

Tinggal dilihat dari sudut pandang yang mana, memandang kafe yang erat dengan budaya nongkrong adalah sebuah tren atau gaya hidup.

Kafe dan nongkrong adalah dua mata pisau yang tak bisa dipisahkan. Jika masyarakat menganggap hal ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup, tentunya usaha kafe di Kota Metro harusnya mampu bertahan dan tidak akan ada yang gulung tikar. Nyatanya?

Sebagai orang yang lahir dan besar di Metro, saya sendiri mengikuti bagaimana budaya nongkrong di kafe di kota saya ini. Meskipun belum semua, namun satu per satu kafe pernah saya singgahi, walau hanya memesan kopi hitam dan membaca-baca daftar menu.

Vibes atau suasana dari setiap kafe yang saya kunjungi tentunya berbeda-beda, sesuai dengan desain interior maupun eksterior yang diusung.

Tetapi, jika patokan suksesnya kafe adalah dari desain interior dan eksterior tentu pemodal besarlah yang akan menang dalam persaingan bisnis kafe di Kota Metro. Namun kenyataannya, banyak kafe dengan look yang luxury ujung-ujungnya gulung tikar juga.

Lantas, apa langkah strategis yang seharusnya dilakukan jika ingin membuka sebuah kafe di Kota Metro?

Jika sebuah kafe dinilai dari makanan atau minuman yang disediakan tentunya kafe dengan kuliner yang berkualitaslah yang akan menang, namun lagi-lagi kualitas juga tak menjamin jika tidak dibarengi dengan kuantitas, di sini.

Kemudian masalah harga, harga di sini tentunya sangat menentukan, namun sangat mudah untuk melihat pesaing kanan kiri tentang harga jual sebuah produk, misalkan saja kentang goreng, jika ada selisih dan porsi tentu pelanggan bisa kabur begitu saja.

Lalu apa yang harus menjadi dasar pemodal besar sehingga tidak salah langkah dalam mengeluarkan uangnya untuk usaha kafe di Kota Metro, jika semua hal di atas pun masih ada celah kegagalannya.

Jika dilihat dari hiburan musik misalnya. Tentunya musisi papan atas yang seharusnya bisa menarik konsumen untuk datang ke sebuah kafe itu, namun apakah sebanding biaya untuk membayar artis dengan laba yang didapatkan?

Jika kita bicara pelayanan tentunya kita bicara sapta pesona, harusnya calon pengusaha kafe sudah mengerti ini, atau istilah Inggrisnya lagi, hospitality. Terlalu bertele-tele jika harus saya jelaskan di sini apa itu pengertian sapta pesona.

Di sini menariknya.

Menurut saya, kafe dan budaya nongkrong adalah satu kesatuan. Sehingga, yang utama dalam sebuah bisnis kafe di Kota Metro adalah ekosistem, kenapa ekosistem? Karena kafe bukan seperti rumah makan yang tujuan konsumennya datang hanya untuk kenyang dan tak perlu interaksi dengan pelanggan lain.

Harus diingat ada budaya nongkrong, bagi anak muda, nongkrong bukan sekedar nongkrong. Nongkrong sendiri memiliki banyak misi, bisa nongkrong sebagai sebuah aktualisasi diri, bisa nongkrong untuk mencari relasi pertemanan, bisa nongkrong untuk mencari pasangan, dan masih banyak lagi tujuan lainnya, jadi tujuan nongkrong berbeda dari setiap personal.

Tentunya, suksesnya sebuah kafe di Metro adalah yang mampu mem-bland, ekosistem, tempat, hidangan, harga, pelayanan, menjadi satu strategi bisnis yang kuat, sehingga tak terjatuh di lubang kebangkrutan karena makin ketatnya persaingan bisnis kafe di Kota Metro.

Oh iya. Strategi digital marketing. Tentu sangat penting. Layaknya, kafe di kota-kota besar dengan pengelolaan yang profesional, kafe harus memiliki tim digital marketing atau admin media sosial khusus. Tetapi, saya yakin semua akan ahli di bidang digital marketing, hanya bicara soal waktu.

Masih ingin buka kafe di Metro?

(Bersambung)