Kamis, 14 November 2019. Tepatnya pukul 01.30 WIB dini hari. Seperti biasa, usai mengurusi suatu kegiatan yang baru kelar hingga pukul 24.00 WIB, saya mampir sebentar di Wedang Ronde Simpang Kampus, milik kawan saya Indra Sanjaya yang biasa disapa Chicko.

Kurang lebih satu jam saya asyik nongkrong sambil ngobrol tentang konten Youtube yang ada di Indonesia. Saya dan Chicko juga kerap membuat konten di platform Youtube, sehingga pembahasan tentang konten Youtube merupakan pembahasan yang harus disajikan di setiap obrolan.

Usai nongkrong, saya berinisiatif pulang ke toko. Toko perawatan sepatu yang saya buka di pertigaan Jalan Ahmad Yani dengan Jalan Kunang, Kota Metro. Pukul 01.30 WIB dini hari saya sampai di VIP Shoes, brand yang saya buat sebagai pusat perawatan sepatu.

Barulah sepuluh menit saya duduk di samping Warung Supo (pedagang kelontong yang menegakkan gerobaknya tepat di depan toko saya), langsung mendung menyelimuti langit. Bulan yang awalnya terang, menjadi pucat dan gelap tertutup awan kelabu.

Aroma petrikor seketika menyeruak sepersekian detik saat saya duduk di kursi plastik milik Pak Supo yang sedikit reot.

Petrikor sendiri adalah aroma alami yang dihasilkan saat air dari langit jatuh di tanah kering usai musim kemarau. Senyawa kimia dari tetesan air hujan berpadu dengan minyak yang dihasilkan tumbuhan mati selama musim kemarau. Sehingga menciptakan bau seperti Kasturi. Pun, konon yang dapat mencium aroma Petrikor nenek moyangnya menggantungkan hidup dari musim hujan.

Istilah Petrikor ini juga saya dapatkan belum lama, karena saya penasaran dengan bau khas ketika hendak hujan apa namanya, langsung saya searching di Google, dan ketemu namanya adalah Petrikor. Berasal dari bahasa Yunani Petrichor (Petra adalah batu dan Ichor adalah cairan).

Tepatnya pukul 01.37 WIB, Pak Supo menggulung dagangannya bersamaan dengan Nasi Goreng Tiwul Mbak Dwi yang membuka lapaknya di pojok depan toko saya.

Mereka menggulung dagangan karena takut hujan menerpa dagangan mereka. Angin kencang dan gerimis juga lari-lari kecil di seputaran lokasi.

Lantas Pak Supo dengan tergesa-gesa membungkus dagangannya dan memboyongnya di mobil Carry hitam miliknya.

“Wadoh. Ancur dagangan saya ini nanti, udahlah saya pulang aja. Bahaya ini, padahal saya pengennya ujannya besok aja,” kata Supo sambil melakukan gerakan ninja (gerakan membungkus dagangan dengan cepat).

Hal serupa terjadi dengan Warung Nasi Goreng Tiwul Mbak Dwi. Yanti dan Rafi selaku karyawan langsung bergegas menggulung dagangan.

Pukul 01.40 WIB hujan pun turun, disertai angin yang membawa daun kering berhamburan di halaman.

Tak dipungkiri lagi, bulan November dalam kalender merupakan pintu gerbang dari musim kemarau menuju musim hujan atau rendeng dalam bahasa Jawa.

Saya jadi teringat kejadian banjir bulan Februari 2018 lalu, yang melanda beberapa titik di Kota Metro.

Banjir melanda wilayah Kelurahan Margorejo, Metro Selatan. Foto Ist.
Foto Ist.

Banjir yang terjadi di Kota Metro kala itu merupakan banjir yang terparah, ketinggian air mencapai paha hingga leher orang dewasa. Puluhan rumah juga terendam.

Tercatat terdampak banjir adalah 80 KK tersebar di 12 kelurahan di Kota Metro. Terparah diantaranya adalah, Margorejo berbatasan dengan Tejoagung, Hadimulyo Barat, Iringmulyo, hingga Banjar Rejo perbatasan Iringmulyo.

Tak pernah disangka, banjir melanda Kota Metro dengan dahsyatnya. Berbagai pohon tumbang juga kerap menghiasi jalanan Bumi Sai Wawai ini. Genangan air juga menutup sejumlah ruas jalan sehingga menyebabkan arus jalan putus.

Menurut saya, masalah banjir ini bukan murni tanggungjawab pemerintah setempat saja. Masyarakat juga bertanggungjawab terhadap kejadian banjir ini.

Masalah penumpukan sampah di saluran irigasi yang menyebabkan pendangkalan, hingga hilangnya penghijauan di sekitar aliran sungai sebagai resapan dan penahan air, merupakan beberapa faktor penyebab banjir.

Mumpung belum terlanjur. Saat ini adalah saat yang tepat untuk bersinergi antara masyarakat dengan pemerintah untuk mencegah banjir terjadi.

“Sedia Payung Sebelum Hujan” juga pribahasa yang sangat tepat diterapkan agar masalah banjir tak terulang kembali di Kota Metro.

Bagi saya. Musibah banjir merupakan musibah paralel. Artinya, bisa mengantarkan kita menuju kesialan lain, seperti lumpuhnya lembaga pendidikan, terjangkitnya berbagai penyakit, hingga kesulitan transportasi dan kerusakan material rumah.

Kebijakan pemerintah yang tak didukung oleh kesadaran lingkungan masyarakat merupakan isapan jempol belaka. Pun kesadaran lingkungan masyarakat yang tak didukung kebijakan pemerintah hanya akan jadi debat kusir di media sosial.

Inilah saatnya bersinergi.

(Raden Yusuf)